Perjalanan Panjang Ipsi

Selasa, 21 Juni 2011
Perjalanan Panjang Ipsi Versi KPS Nusantara

Kesadaran nasional yang timbul dengan melawan penjajah Belanda membawa
penghargaan baru terhadap pencak silat yang dipandang sebagai salah satu
corak kebudayaan nenek moyang kita atau menurut Presiden Sukarno sebagai
"pusaka turun temurun yang menghiasi serta berguna bagi nusa dan
bangsa Indonesia". Semakin kiat masyarakat kita mencari kebesaran
nasional dan kebudayaan sendiri, semakin kiat pula keinginan untuk memahami
dan mengembangkan pencak silat.



Usaha melihara pencak silat pada masa awal Republik Indonesia memang diperlukan
oleh karena ilmu beladiri khas Melayu ini sedang mengalami krisis. Banyak
perguruan yang tidak berfungsi lagi, dan tidak sedikit tokoh dan pendekar
yang mengasingkan diri dari dunia persilatan. Hal ini disebabkan oleh
ketidakstabilan politik dan ekonomi di negara kita yang baru merdeka.
Pengaruh lain tidak adanya rangsangan dari luar yang dapat mendorong perkembangan
pencak silat. Selama penjajahan Belanda dan Jepang pencak silat mempunyai
peran yang hakiki di masyarakat sebagai sarana serangan dan beladiri,
tetapi dengan perubahan jaman belum ditemukan arti dan fungsi yang sesuai
dengan masa perdamaian.



Dengan timbulnya kesadaran bahwa pencak silat perlu dikembangkan, maka
dipandang penting mendirikan sebuah organisasi yang bersifat nasional
agar dapat membina kehidupan pencak silat di seluruh Indonesia. Cita mulia
ini tidak dapat direalisir dengan mudah, oleh karena banyak perguruan
pencak silat yang masih menutup diri, bersaing atau konflik karena perpecahan.
Kalangan pendekar juga terpisah karena afiliasi partai atau loyalitas
kepada suku yang berbeda. Selain itu masih banyak pendekar yang tidak
mau bekerja sama karena merasa jagoan di daerahnya.

Namun pada akhirnya, ungkapan rasa kecintaan terhadap pencak silat dituangkan
dalam berdirinya satu organisasi yang mengayomi aliran-aliran pencak silat
yang tersebar di Nusantara. Pada tanggal 18 Mei 1948 didirikan Ikatan
Pencak Seluruh Indonesia yang sesudah kurang lebih 25 tahun akan mengganti
nama menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Pada kongres kedua
yang diadakan antara 21-23 December di Yogyakarta diputuskan untuk mengkukuhkan
IPSI dan menyusun Pengurus Besar baru sebagai Ketua Umum Mr. Wongsonegoro
-yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri P Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan (PP dan K, sekarang Depdikbud)-

Wakil Ketua Umum Sri Paduka Paku Alam dan Penulis I Sdr. Rachmad.




Dengan mendirikan organisasi ini diharapkan bahwa pencak-silat dapat digerakan
dan disebarluaskan sampai ke pelosok-pelosok sebagai suatu ekspresi kebudayaan
nasional. Masyarakat juga mengharapkan bahwa pencak silat distandarisasi
agar dapat diajarkan sebagai pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, dan
dapat dipertandingkan dalam even-even olah raga nasional. Sesuai dengan
keinginan tersebut, langkah pertama yang diusahakan IPSI adalah terbentuknya
suatu sistem pencak silat nasional yang dapat diterima oleh seluruh perguruan
yang ada di tanah air. Untuk sementara waktu, diadopsikan sebagai 'standaard-system'
pelajaran pencak silat dasar yang sudah disusun oleh RMS Prodjosoemitro
dan diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah Solo dengan dukungan PP dan
K Balai Kota Surakarta. Hasil dari usaha standarisasi semula ini dapat
diamati pada Pekan Olah-Raga Nasional (PON) ke-I yang diadakan pada tanggal
8-12 September 1948 di Solo. Lebih kurang 1000 anak mengadakan satu demonstrasi
pencak dengan gerakan yang standar dan sinkronis. Pada even olahraga nasional
pertama ini, pencak juga dilombakan sebagai demostrasi dalam kategori
solo dan ganda tangan kosong/senjata, suatu tradisi yang akan terus berlangsung
sampai PON ke-VII di Surabaya pada tahun 1969.



Di tahun-tahun berikut di beberapa daerah juga disusun paket pelajaran
dengan metode-metode baru yang praktis agar pencak silat dapat diajarkan
dengan muda kepada segenap lapisan masyarakat. Misalnya, di daerah Yogyakarta,
pelajaran pencak diberikan melalui gelombang Radio Republik Indonesia
(RRI). Tiap hari Senin, Rabu dan Saptu, pukul jam 6,30 pagi, pemirsa dapat
mendengar instruksi-instruksi gerak oleh pencipta S. Winadi (1951:3).



Sistim-sistim tersebut belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga
peralihan pencak silat dari sarana bela diri menjadi sejenis senam jasmani
memakan waktu yang cukup lama. Tim ahli teknik IPSI yang terdiri dari
pakar-pakar dari berbagai aliran harus mempelajari ratusan kaidah dan
gerak dan mencoba menyatukan mereka tanpa menghilangkan warna-warni yang
khas. Mereka juga harus menyesuaikan sistim pelajaran tradisional pencak
silat yang berpatokan kepada jurus (seri atau kumpulan gerakan) dengan
prinsip olah raga 'modern'. Selain mengalami kesulitan teknis dalam mengembangkan
metode dan sistematika olah raga yang dapat diterima oleh semua pihak,
IPSI juga mendapat resistensi dari kalangan pendekar tradisional yang
enggan menerima pemikiran-pemikiran baru karena tidak menginginkan reduksi
pencak silat hanya kepada satu bentuknya, yaitu olah raga. Mereka khawatir
bahwa aspek integral yang lain, khususnya aspek seni dan aspek spiritual,
akan diabaikan dan tidak dapat dirasakan lagi sebagai unsur-unsur yang
saling terkait dalam satu totalitas sosio-kosmik.